IBU, MENGAPA TAK BISA?
Sebuah tubuh ringkih menunduk ditengah ladang yang gersang, dengan sebuah cangkul tergeletak disampingnya. Tak peduli panas terik yang menerjang tubuhnya, dan rasa pegas di setiap sendi tubuhnya.Ia, masih bersikukuh, tak cocok dengan tampangnya yang elok. Betapa kejamnya hukum gravitasi, membuat perempuan muda yang seharusnya berias di depan kaca rias, justru menyingsingkan lengan baju untuk lembaran uang yang tak seberapa.
Sebuah tubuh ringkih menunduk ditengah ladang yang gersang, dengan sebuah cangkul tergeletak disampingnya. Tak peduli panas terik yang menerjang tubuhnya, dan rasa pegas di setiap sendi tubuhnya.Ia, masih bersikukuh, tak cocok dengan tampangnya yang elok. Betapa kejamnya hukum gravitasi, membuat perempuan muda yang seharusnya berias di depan kaca rias, justru menyingsingkan lengan baju untuk lembaran uang yang tak seberapa.
Setelah lama berkukat dengan tanah gersang dengan debu yang menyebar, ia pulang. Dilangkahkan kakinya menuju sebuah rumah panggung, atapnya seakan mau rubuh, tersenggol dengan siku tangan mungkin dinding rumah itu akan longsor. Tapi , lihatlah wajah perempuan tadi, nampak begitu tegar, seakan ia menerima bulat bulat nasib yang telah membelenggu di lehernya. dengan langkah berat seberat beban yang di pikulnya, masuklah ia dibangunan yang sudah jauh dari kata 'rumah'.
Dengkuran halus mulai terdengar ketika masuk, bukan karna terlalu keras, namun karna rumah yang sesempit lubang semut. Dengkuran semakin jelas di depan pintu kamar, satu satunya kamar yang ada. Masuklah ia kedalam, di amatinya sosok malaikat yang bersemayam di tubuh kecil itu, putrinya. Putrinya yang lahir tiga tahun lalu, merubah seluruh coretan hidupnya. Malaikat kecil itu sudah berpindah di kedua tangan ibunya, dia semakin mendengkur dan menggeliat, menyari cari tempat yang nyaman untuk tidur.
Malam menjadi pagi, pagi menjadi siang, siang menjadi malam, begitu seterusnya. Namun tak ada yang berubah semua masih sama. Pagi pagi sekali sebelum sang fajar bertamu , ia sudah lebih dulu bertamu diladang, mencangkul dan mendulang apapun yang bisa ia tukar untuk segenggam nasi. Apapun ia lakukan asal halal, hingga kulit telapak kakinya mengelupas, jari jari tanganya mengerut, kuku kuku jarinya menghitam dan tanganya tak lagi halus seperti sembilan tahun sebelumnya. Tahun ini, ia harus mengumpulkan uang bukan untuk segenggam nasi melainkan untuk menyekolahkan putrinya. Ia ingin putrinya lebih baik dari pada dirinya.
Waktu terus mengalir cepat seperti arus sungai, tak terasa dengan keadaan yang sama terjadi sesuatu yang berbeda. Putrinya tumbuh begitu baik, meski kebutuhan gizinya masih jarang terpenuhi, kini putrinya tengah duduk dibangku sekolah dasar. Tak mustahil bukan? mati matian ia bekerja tak peduli sinar matahari yang seperti bara api, atau lolongan anjing milik tetangga. Lenganya menjadi kekar seperti milik atlet petinju dunia, terlalu banyak menyangkul hingga tulang belakangnya terasa bengkok.
Putrinya tumbuh menjadi gadis yang cantik meski pakaian yang ia kenakan sangat berbanding terbalik dengan paras yang ia miliki, kulitnya putih seputih susu, dengan lesung pipit yang menjadi stempel di wajahnya, hidungnya yang mencuat bak tiang bendera,serta memiliki bulu mata lentik dipadu dengan lengkungan alis yang manis. siapapun tak menduga ia putri seorang wanita pencangkul ladang desa. Kondisi ekonomi yang seadanya tak membuat mereka malu, mereka adalah ibu dan anak idaman.
Seperti kata orang buah jatuh tak jauh dari pohonya, dari mana asal paras cantik yang ia miliki jika bukan dari ibunya. Banyak pemuda desa sudah meminang Sang ibu, namun tertolak. Mendaftar pun tak boleh apalagi meminang. Cukup rumah reyot itu di huni sepasang ibu dan anak, sudah cukup membuat mereka bahagia.
Suatu pagi, di hari minggu yang terbelunggu diantara hari sabtu dan senin. Sang anak menghampiri ibunya, yang duduk di depan rumah dengan tatapan mata kosong. Mendengar derap langkah , ibunya menoleh kesamping, sambil memijit kakinya sendiri. Kedua alisnya bertautan, membentuk sebuah garis lurus, sayup sayup mendengar lontaran pertanyaan dari mulut anaknya.
"Ibu, bisakah aku bertemu ayah?" , suara lirih utu, membuat pita suara milik Santi terasa tercekik. Baru kali ini, putrinya menanyakan tentang ayahnya.
Santi hanya termenung dan kembali menatap kosong ke arah depan, baginya semua itu telah berakhir 11 tahun silam,ia bahkan berusaha lupa akan kenangan pahit itu. Namun, tak bisa di hindari, suatu hari, anaknya akan menanyakan dimana ayah nya. Yang seharusnya mengantarkannya ke sekolah, yang harusnya menafkahi keluarga itu, tapi sayang itu hanya 'seharusnya' bukan kenyataanya. Santi hanya diam , dan bangun dari duduknya, berjalan kearah pintu masuk , melewati sang anak mengusap rambut anaknya sekilas , lalu berjalan terseok seok kedalam rumah.
BERSAMBUNG>>>>>>>
Hay guys, sekedar ngaish tau.
panggil aja Mila ya! jangan lupa ikuti cerita di blog ku
satu lagi,,, Add Fb aku ; Mila R.
buat yang baca , tolong tinggalin jejak, supaya bisa dilacak ;v
Waktu terus mengalir cepat seperti arus sungai, tak terasa dengan keadaan yang sama terjadi sesuatu yang berbeda. Putrinya tumbuh begitu baik, meski kebutuhan gizinya masih jarang terpenuhi, kini putrinya tengah duduk dibangku sekolah dasar. Tak mustahil bukan? mati matian ia bekerja tak peduli sinar matahari yang seperti bara api, atau lolongan anjing milik tetangga. Lenganya menjadi kekar seperti milik atlet petinju dunia, terlalu banyak menyangkul hingga tulang belakangnya terasa bengkok.
Putrinya tumbuh menjadi gadis yang cantik meski pakaian yang ia kenakan sangat berbanding terbalik dengan paras yang ia miliki, kulitnya putih seputih susu, dengan lesung pipit yang menjadi stempel di wajahnya, hidungnya yang mencuat bak tiang bendera,serta memiliki bulu mata lentik dipadu dengan lengkungan alis yang manis. siapapun tak menduga ia putri seorang wanita pencangkul ladang desa. Kondisi ekonomi yang seadanya tak membuat mereka malu, mereka adalah ibu dan anak idaman.
Seperti kata orang buah jatuh tak jauh dari pohonya, dari mana asal paras cantik yang ia miliki jika bukan dari ibunya. Banyak pemuda desa sudah meminang Sang ibu, namun tertolak. Mendaftar pun tak boleh apalagi meminang. Cukup rumah reyot itu di huni sepasang ibu dan anak, sudah cukup membuat mereka bahagia.
Suatu pagi, di hari minggu yang terbelunggu diantara hari sabtu dan senin. Sang anak menghampiri ibunya, yang duduk di depan rumah dengan tatapan mata kosong. Mendengar derap langkah , ibunya menoleh kesamping, sambil memijit kakinya sendiri. Kedua alisnya bertautan, membentuk sebuah garis lurus, sayup sayup mendengar lontaran pertanyaan dari mulut anaknya.
"Ibu, bisakah aku bertemu ayah?" , suara lirih utu, membuat pita suara milik Santi terasa tercekik. Baru kali ini, putrinya menanyakan tentang ayahnya.
Santi hanya termenung dan kembali menatap kosong ke arah depan, baginya semua itu telah berakhir 11 tahun silam,ia bahkan berusaha lupa akan kenangan pahit itu. Namun, tak bisa di hindari, suatu hari, anaknya akan menanyakan dimana ayah nya. Yang seharusnya mengantarkannya ke sekolah, yang harusnya menafkahi keluarga itu, tapi sayang itu hanya 'seharusnya' bukan kenyataanya. Santi hanya diam , dan bangun dari duduknya, berjalan kearah pintu masuk , melewati sang anak mengusap rambut anaknya sekilas , lalu berjalan terseok seok kedalam rumah.BERSAMBUNG>>>>>>>
Hay guys, sekedar ngaish tau.
panggil aja Mila ya! jangan lupa ikuti cerita di blog ku
satu lagi,,, Add Fb aku ; Mila R.
buat yang baca , tolong tinggalin jejak, supaya bisa dilacak ;v
Tidak ada komentar:
Posting Komentar