Senin, 23 Januari 2017

SUNSHINE ABOUT LOVE


SUNSHINE ABOUT LOVE

  PART I

Gadis pagi
Setiap orang selalu berkata padaku, bahwa hidupku sempurna. Tapi diantara banyak orang itu tak da yang pernah tau apa yang kurasakan sesungguhnya. Hidupku. Betapa manisnya ketika mulutku membicarakan hidupku, namun ada banyak hal yang membuatku takut. Bahwa kehadiranku diantara semua orang tak pernah di pedulikan, itulah yang membuatku tak pernah melepas topengku.
Aku tersenyum getir menatap sosok di depanku. Gadis yang kelewat biasa, tak ada yang spesial di dalamnya. Semua nya terlalu biasa. Dengan rambut panjang sepinggang berwarna kecoklatan, rambut lurus selalu membuat orang berdecak kagum. Memiliki rambut bagus tidak membuat dia menyukaiku justru sebaliknya, menyakitkan bukan. Dengan tubuh yang tidak terlalu tinggi dan bentuk tubuh yang lumayan berisi untuk tinggi badan seukuranya. Jika mempertanyakan wajahnya, wajahnya biasa, memiliki dua alis yang melengkung indah dan terlihat menyatu ketika bertautan, hidung yang tidak semancung tokoh tokoh utama dalam setiap novel yang ku baca. Bibir tipis bewarna merah jambu tanpa polesan apapun. Siapa gadis itu? Itu adalah pantulanku.
Ketika kau membaca kisahku kusarankan jangan terlau berharap lebih, mengerti. Karena setiap harapan itu memiliki konsekuesi untuk di kecewakan. Aku adalah salah seorang tokoh dalam kisahku sendiri. Aku juga bukan gadis berparas elok yang digilai banyak kaum adam. Aku bukan pula wanita berhati mulia sehingga memiliki banyak orang menyukaiku. Lalu , aku hanya ingin mengisahkan sedikit potongan episode dalam kehidupanku.
                                                                                ******
                Gadis itu berjalan dengan tergesa gesa menuruni anak tangga, tanpa memperludikan langkahnya. Hingga terjtuh di anak tangga kelima. Kakinya terasa seperti terhimpit oleh pintu, sangat nyeri, mungkin karena terkilir. Semua orang dalam hanya berlalu melawatiku, mengauhkannya. Padhahal mereka menyadari gadis itu terjatuh dari tangga. Semua acuh padanya, begitulah makanan sehari harinya. Berusaha untuk bangun sendiri, dan melangkah keluar menuju pintu rumah. Dengan langkah yang terseok seok dan rintihan yang lolos dari bibirnya, ia berjalan keluar.
Lelaki paruh baya itu sibuk menyesap rokoknya dalam dalam. Tanpa memerlukan hari masih pagi, dan juga mengotori udara pagi dikota yang masih bersih. Pandangan matanya mentap kosong ke arah depan. Dengan salah satu kaki ditimpa di kaki sebelahnya posisi seperti seorang  juragan, tak ada tanda tanda kesadaran akan sosok gadis tadi yang merangkap sebagai puteri nya telah berdiri di sisi kanan kursi yang di dudukinya. Hingga gadis itu berpamitan untuk berangkat sekolah dan menanyakan apakah beliau mau mengantarnya berangkat kesekolah ,yang gelengan sebagai jawabanya.
Gadis hanya tersenyum kecut, terbesit rasa sakit atas penolakan ayahnya untuk mengantarnya sekolah. Ia melanjutkan jalanya menuju sebuah pintu kayu jati tua yang sudah tua tapi terlihat kokoh disaat yang bersamaan, warna coklat dipintu itu alami bukan karna cat ataupun campur tangan manusia lainya
Ketika gadis seusia nya sudah diperbolehkan untuk ‘berteman dekat’ dengan laki laki. Maka tidak untuknya. Sekedar menyapa teman laki lakinya di jalan , bisa menimbulkan masalah besar. Itulah hal yang ia hindari sejak beberapa tahun lalu. Masa pubertasnya sangat buruk, dengan berbagai macam larangan dan perintah yang hilir mudik di hidupnya. Meski begitu ia tetap memaksakan diri untuk tetap tersenyum dan tertawa dalam hidupnya, setidaknya hal itu bisa mengalihkan perhatiannya walau hanya sementara.
                Sekolah,hanya sekolah dan segala tentangnya bisa membuatnya merasa tenang dan tidak sendirian. Di tatapnya sebuah gerbang berwarna coklat keemasan, gadis itu tersenyum simpul  dan melangkah masuk. Terlalu pagi hanya untuk sekolah. Dan nanti kalian akan tau kenapa ia selalu tergesa sega untuk berangkat sekolah. Rajin, bukan lah alasan utama nya.
                Angin sejuk masih berhembus sebelum nantinya pergi. Suara gemericik air dan  tiupan angin yang menampar dedaunan seolah menjadi lagu sambutan setiap pagi. Kesunyian tanpa merasa sendirian adalah impian, meski hanya untuk gadis itu. Langkah kaki nya terhenti di depan ruang kelasnya, dalam hati ia berdoa agar hari ini ia mendapat sedikit keberuntungan. Setelah membuka pintu dengan kunci pintu, hasil ia pinjam dari penjaga sekolah. Dan sedetik kemudian ia memasang topeng di wajahnya untuk mengawali dua detik setelah memasuki kelasnya.
                Gadis itu selalu menjadi anak pertama yang datang ke sekolah. Ketika matahari baru menyumbul keluar , gadis itu sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Tak heran , jika penjaga sekolah sering kali meminjamkan kunci kelas untuk gadis itu. Gadis berkuncir kuda itu , berhenti melangkah ketika sudah berada di bangku baris kedua dari depan, senyum tipis diulasnya. Didudukkan tubuhnya di bangku itu.
                Sambil menunggu jarum jam bergerak , waktunya ia habiskan untuk membaca novel yang ia pinjam dari perpustakaan. Perhalan namun pasti , ia sudah larut dalam novel yang ia baca. Novel membuatnya seperti orang gila, bisa tertawa sendirian, menangis meraung raung , dan ikut merasa gembira. Hanya di dengan membaca ia merasa hidup, selebihnya ia merasa sudah mati. Sayup sayup organ pendengaranya mendengar derap langkah kaki yang berjalan mendekat.
                Pelajaran pelajaran  kali ini, membuatnya meringis. Ia sama sekali tak mengerti apa yang sedari tadi gurunya jelaskan, aljabar. Matematika, yang dulunya adalah pelajaran favoritnya, justru kini ia benci mati matian. Bukankah perbedaan benci dan cinta hanya setipis benang. Matanya mengitari seluruh penjuru kelas, banyak temanya yang mengalami hal yang sama denganya –jenuh –namun ada diantaranya menatap papan ulis dengan binar semangat dan senang. Senang?, bagaimana mungkin melihat sebuah papan putih yang dipenuhi angka bewarna hitam yang tak beraturan bisa membuat senang,  seperti itulah pola pikirnya.
                Begitu bel pergantian jam berbunyi, tanpa sadar gadis itu terpekik girang. Hingga membuat beberapa pasang mata melihatnya tajam. Gadis itu teralu  ekspresif dan ceria, ia hanya menjawab tatapan itu dengan cengiran. Namun pekikan tak bisa mengubah apa yang terjadi, pelajaran itu berganti dengan pelajaran yang ia sukai,bahasa Indonesia. Meski untuk sebagian orang itu adalah pelajaran sepele, tapi tidak untuk nya. Permainan kata kata selalu membuatnya terbuai hingga melupakan semua sesak didadanya.
                Hari itu, semua berakhir seperti  hari hari sebelumnya. Menjalani hampir setengah hari disekolah di selingi senda gurau bersama teman, membuat hidup kita terasa lengkap. Hampir semua orang memikirkan hal sama. Teman untuk tempat kita membagi keluh dan kesah , Sekolah tempat dimana semua orang bisa meluapkan semua bebanya dengan tawa bersama teman temanya. Begitulah , sekolah dan teman yang saling bersinambungan.




bersambung>>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar