Gadis pagi
Setiap orang selalu berkata
padaku, bahwa hidupku sempurna. Tapi diantara banyak orang itu tak da yang
pernah tau apa yang kurasakan sesungguhnya. Hidupku. Betapa manisnya ketika mulutku
membicarakan hidupku, namun ada banyak hal yang membuatku takut. Bahwa
kehadiranku diantara semua orang tak pernah di pedulikan, itulah yang membuatku
tak pernah melepas topengku.
Aku tersenyum getir menatap sosok
di depanku. Gadis yang kelewat biasa, tak ada yang spesial di dalamnya. Semua
nya terlalu biasa. Dengan rambut panjang sepinggang berwarna kecoklatan, rambut
lurus selalu membuat orang berdecak kagum. Memiliki rambut bagus tidak membuat
dia menyukaiku justru sebaliknya, menyakitkan bukan. Dengan tubuh yang tidak
terlalu tinggi dan bentuk tubuh yang lumayan berisi untuk tinggi badan
seukuranya. Jika mempertanyakan wajahnya, wajahnya biasa, memiliki dua alis
yang melengkung indah dan terlihat menyatu ketika bertautan, hidung yang tidak
semancung tokoh tokoh utama dalam setiap novel yang ku baca. Bibir tipis
bewarna merah jambu tanpa polesan apapun. Siapa gadis itu? Itu adalah
pantulanku.
Ketika kau membaca kisahku
kusarankan jangan terlau berharap lebih, mengerti. Karena setiap harapan itu
memiliki konsekuesi untuk di kecewakan. Aku adalah salah seorang tokoh dalam
kisahku sendiri. Aku juga bukan gadis berparas elok yang digilai banyak kaum adam.
Aku bukan pula wanita berhati mulia sehingga memiliki banyak orang menyukaiku.
Lalu , aku hanya ingin mengisahkan sedikit potongan episode dalam kehidupanku.
******
Gadis itu berjalan dengan tergesa
gesa menuruni anak tangga, tanpa memperludikan langkahnya. Hingga terjtuh di
anak tangga kelima. Kakinya terasa seperti terhimpit oleh pintu, sangat nyeri,
mungkin karena terkilir. Semua orang dalam hanya berlalu melawatiku,
mengauhkannya. Padhahal mereka menyadari gadis itu terjatuh dari tangga. Semua
acuh padanya, begitulah makanan sehari harinya. Berusaha untuk bangun sendiri,
dan melangkah keluar menuju pintu rumah. Dengan langkah yang terseok seok dan
rintihan yang lolos dari bibirnya, ia berjalan keluar.
Lelaki paruh baya itu sibuk
menyesap rokoknya dalam dalam. Tanpa memerlukan hari masih pagi, dan juga
mengotori udara pagi dikota yang masih bersih. Pandangan matanya mentap kosong
ke arah depan. Dengan salah satu kaki ditimpa di kaki sebelahnya posisi seperti
seorang juragan, tak ada tanda tanda kesadaran
akan sosok gadis tadi yang merangkap sebagai puteri nya telah berdiri di sisi
kanan kursi yang di dudukinya. Hingga gadis itu berpamitan untuk berangkat
sekolah dan menanyakan apakah beliau mau mengantarnya berangkat kesekolah ,yang
gelengan sebagai jawabanya.
Gadis hanya tersenyum kecut,
terbesit rasa sakit atas penolakan ayahnya untuk mengantarnya sekolah. Ia
melanjutkan jalanya menuju sebuah pintu kayu jati tua yang sudah tua tapi
terlihat kokoh disaat yang bersamaan, warna coklat dipintu itu alami bukan
karna cat ataupun campur tangan manusia lainya
Ketika gadis seusia nya sudah
diperbolehkan untuk ‘berteman dekat’ dengan laki laki. Maka tidak untuknya.
Sekedar menyapa teman laki lakinya di jalan , bisa menimbulkan masalah besar.
Itulah hal yang ia hindari sejak beberapa tahun lalu. Masa pubertasnya sangat
buruk, dengan berbagai macam larangan dan perintah yang hilir mudik di
hidupnya. Meski begitu ia tetap memaksakan diri untuk tetap tersenyum dan
tertawa dalam hidupnya, setidaknya hal itu bisa mengalihkan perhatiannya walau
hanya sementara.
Sekolah,hanya
sekolah dan segala tentangnya bisa membuatnya merasa tenang dan tidak
sendirian. Di tatapnya sebuah gerbang berwarna coklat keemasan, gadis itu
tersenyum simpul dan melangkah masuk.
Terlalu pagi hanya untuk sekolah. Dan nanti kalian akan tau kenapa ia selalu
tergesa sega untuk berangkat sekolah. Rajin, bukan lah alasan utama nya.
Angin
sejuk masih berhembus sebelum nantinya pergi. Suara gemericik air dan tiupan angin yang menampar dedaunan seolah
menjadi lagu sambutan setiap pagi. Kesunyian tanpa merasa sendirian adalah
impian, meski hanya untuk gadis itu. Langkah kaki nya terhenti di depan ruang
kelasnya, dalam hati ia berdoa agar hari ini ia mendapat sedikit keberuntungan.
Setelah membuka pintu dengan kunci pintu, hasil ia pinjam dari penjaga sekolah.
Dan sedetik kemudian ia memasang topeng di wajahnya untuk mengawali dua detik
setelah memasuki kelasnya.
Gadis
itu selalu menjadi anak pertama yang datang ke sekolah. Ketika matahari baru
menyumbul keluar , gadis itu sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Tak heran ,
jika penjaga sekolah sering kali meminjamkan kunci kelas untuk gadis itu. Gadis
berkuncir kuda itu , berhenti melangkah ketika sudah berada di bangku baris
kedua dari depan, senyum tipis diulasnya. Didudukkan tubuhnya di bangku itu.
Sambil
menunggu jarum jam bergerak , waktunya ia habiskan untuk membaca novel yang ia
pinjam dari perpustakaan. Perhalan namun pasti , ia sudah larut dalam novel
yang ia baca. Novel membuatnya seperti orang gila, bisa tertawa sendirian, menangis
meraung raung , dan ikut merasa gembira. Hanya di dengan membaca ia merasa
hidup, selebihnya ia merasa sudah mati. Sayup sayup organ pendengaranya
mendengar derap langkah kaki yang berjalan mendekat.
Pelajaran
pelajaran kali ini, membuatnya meringis.
Ia sama sekali tak mengerti apa yang sedari tadi gurunya jelaskan, aljabar.
Matematika, yang dulunya adalah pelajaran favoritnya, justru kini ia benci mati
matian. Bukankah perbedaan benci dan cinta hanya setipis benang. Matanya
mengitari seluruh penjuru kelas, banyak temanya yang mengalami hal yang sama
denganya –jenuh –namun ada diantaranya menatap papan ulis dengan binar semangat
dan senang. Senang?, bagaimana mungkin melihat sebuah papan putih yang dipenuhi
angka bewarna hitam yang tak beraturan bisa membuat senang, seperti itulah pola pikirnya.
Begitu
bel pergantian jam berbunyi, tanpa sadar gadis itu terpekik girang. Hingga
membuat beberapa pasang mata melihatnya tajam. Gadis itu teralu ekspresif dan ceria, ia hanya menjawab
tatapan itu dengan cengiran. Namun pekikan tak bisa mengubah apa yang terjadi,
pelajaran itu berganti dengan pelajaran yang ia sukai,bahasa Indonesia. Meski
untuk sebagian orang itu adalah pelajaran sepele, tapi tidak untuk nya.
Permainan kata kata selalu membuatnya terbuai hingga melupakan semua sesak
didadanya.
Hari
itu, semua berakhir seperti hari hari
sebelumnya. Menjalani hampir setengah hari disekolah di selingi senda gurau
bersama teman, membuat hidup kita terasa lengkap. Hampir semua orang memikirkan
hal sama. Teman untuk tempat kita membagi keluh dan kesah , Sekolah tempat
dimana semua orang bisa meluapkan semua bebanya dengan tawa bersama teman
temanya. Begitulah , sekolah dan teman yang saling bersinambungan.
bersambung>>>
bersambung>>>

Tidak ada komentar:
Posting Komentar